Selasa, 15 Agustus 2023

TATA CARA MENGUBURKAN MAYIT

Assalamualaikum

Mengubur mayit dengan peti Mengubur mayit dengan menggunakan peti mati hukumnya makruh, jika tidak ada kebutuhan. Asy-Syirbini rahimahullah mengatakan, ويُكْرَه دَفْنُه في تابوت بالإجماعِ؛ لأنَّه بدعةٌ “Dimakruhkan menguburkan mayit di dalam peti mati berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Karena perbuatan ini termasuk bid’ah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 363) Namun, dibolehkan untuk menggunakan peti mati jika ada kebutuhan, seperti tanah yang mudah longsor, adanya resiko banjir, adanya penyakit pada badan mayit, atau semisalnya. Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan, قال في الحِلْيَةِ عن الغاية: ويكونُ التابوتُ من رَأْسِ المالِ إذا كانَتِ الأرضُ رِخوةً أو نَدِيَّةً، مع كَوْنِ التَّابوتِ في غيرها مكروهًا في قولِ العُلَماءِ قاطبةً “Penulis kitab Al-Hilyah mengatakan, ‘Peti mati yang digunakan untuk menguburkan mayit hendaknya dibeli dari harta si mayit. Ini boleh dilakukan jika tanah pemakamannya lembut dan lembek. Walaupun pada asalnya, penggunaan peti mati jika tidak demikian keadaannya, hukumnya makruh berdasarkan kesepakatan ulama.’” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2: 234) Yang diucapkan ketika memasukan mayit ke lubang kubur Disunahkan untuk membaca zikir berikut ketika memasukkan mayit ke lubang kubur: بسمِ الله، وعلى مِلَّةِ رسولِ اللهِ /bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah/ atau: بسمِ الله، وعلى سنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم /bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam/ Ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كان النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم إذا أَدْخَلَ المَيِّتَ القَبرَ، قال: ((بسمِ الله، وعلى مِلَّةِ رسولِ اللهِ )) “Biasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam ketika memasukkan mayit ke dalam lubang kubur, beliau membaca, ‘Bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah.’ (Dengan nama Allah [kami menguburkan mayit ini] dan di atas agama Rasulullah).” (HR. At-Tirmidzi no. 1046, Ibnu Majah no. 1550, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam lafaz yang lain, أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّم كان إذا وضَعَ المَيِّتَ في القَبرِ قال: بسمِ الله، وعلى سنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم )) “Biasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam ketika meletakkan mayit ke dalam lubang kubur, beliau membaca, ‘Bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (Dengan nama Allah dan di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Abu Daud no. 3213, At-Tirmidzi no. 1046, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud) Cara memasukkan mayit ke dalam lubang kubur Langkah 1 Mayit di letakkan dalam posisi miring ke kanan dan dimasukkan ke liang lahat. Ini adalah kesepakatan 4 mazhab. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Yang benar, mayit dikuburkan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Karena Ka’bah adalah kiblat manusia baik ketika hidup atau ketika mati sebagaimana orang yang tidur dianjurkan untuk miring ke kanan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Maka, demikian juga mayit, ia dimiringkan ke kanan karena tidur dan mati itu memiliki kesamaan, keduanya disebut sebagai wafat. Allah Ta’ala berfirman, الله يَتَوَفَّى الأنفُسَ حِينَ مَوتِها وَالتي لَمْ تَمُتْ في مَنَامِهَا “Allah mewafatkan jiwa seseorang pada saat kematiannya dan yang belum mati ketika dia tidur.” (QS. Az-Zumar: 42) Allah Ta’ala juga berfirman, وَهُوَ الذِي يَتَوَفَّكُم بِالَّليلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَهَارِ ثُمَّ يَبَْعَثُكُمْ فيِه لُيقْضَىَ أَجَلٌ مُّسَمَّى “Dan Dialah yang mewafatkan (baca: menidurkan) kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan.” (QS. Al-An’am: 60) Maka, yang disyariatkan adalah menguburkan mayit dengan membaringkannya miring ke kanan menghadap kiblat.” (Al-Fatawa Al-Islamiyah, 2: 52).

Langkah 2 Mayit dihadapkan ke arah kiblat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di atas. Ini adalah kesepakatan seluruh ulama, namun mereka berbeda pendapat apakah wajib atau mustahab hukumnya. Menurut mazhab Hambali, Syafi’i, dan Hanafi, hukumnya wajib selama memungkinkan. Adapun ulama mazhab Maliki mengatakan hukumnya sunah. Al-‘Adawi Al-Maliki rahimahullah mengatakan, وضَجْعٌ فيه على أيمَنَ مُقْبِلًا، والظاهِرُ أنَّهما مستحبَّان “Mayit dibaringkan ke arah kanan dan menghadap ke kiblat. Pendapat yang kuat, keduanya hukumnya mustahab.” (Hasyiyah Al-Adawi, 1: 421) Dan mayit dihadapkan jihhatul qiblah (arah kiblat), tidak harus persis lurus dan akurat dengan Ka’bah. Bagi kaum Muslimin di Indonesia, jihhatul qiblah adalah arah barat. Maka, selama mayit dihadapkan ke arah barat, itu sudah mencukupi. Langkah 3 Mayit didekatkan ke dinding liang lubur dan disandarkan ke dinding pada bagian depan tubuh mayit. Ini pendapat jumhur ulama dari Hanabilah, Syafi’iyyah, dan Malikiyah. Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah menyebutkan, يُستحَبُّ أن يُسْنَدَ المَيِّتُ مِن أمامِه، أو يُدْنَى من الحائِطِ؛ نصَّ عليه المالِكيَّة، والشَّافعيَّة، والحَنابِلَة ؛ وذلك لئلَّا ينكَبَّ على وَجْهِه “Dianjurkan untuk menyandarkan mayit (ke dinding kubur) dari sisi depan tubuh di mayit. Atau boleh sekedar di dekatkan ke dinding. Ini yang ditegaskan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Tujuannya, agar mayit tidak tertelungkup di atas wajahnya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah, Langkah 4 Mayit diberi penyangga di bagian punggung dengan tanah, batu bata, atau yang lainnya. Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah menyebutkan, يُستحَبُّ أن يُسند الميِّت من ورائه بتُرابٍ، أو لَبِنٍ ، أو غير ذلك، وهو مذهَبُ الجمهورِ: المالِكيَّة، والشَّافعيَّة، والحَنابِلَة، وهو قَولُ بعض الحَنفيَّة ؛ وذلك حتى لا يَسْتَلقِيَ على قفاه “Dianjurkan untuk menyangga mayit di bagian punggungnya dengan tanah, batu bata, atau benda yang lainnya. Ini adalah mazhab jumhur ulama, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian ulama Hanafiyah. Tujuannya agar mayit tidak jatuh terlentang di atas tengkuknya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah,

Melepas tali pocong Terdapat hadis, diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, لَمَّا وَضَع رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم نُعَيمَ بنَ مَسعودٍ في القَبرِ نَزَع الأَخِلَّةَ بِفيه؛ يَعنِي العَقْدَ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan Nu’aim bin Mas’ud ke dalam liang kuburnya, Nabi melepas al-akhillah pada mulutnya. Al-akhillah artinya ikatan.” (HR. Al-Baihaqi no. 6714, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 11668) Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, وَأَمَّا حَلُّ الْعُقَدِ مِنْ عِنْدِ رَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ، فَمُسْتَحَبٌّ؛ لِأَنَّ عَقْدَهَا كَانَ لِلْخَوْفِ مِنْ انْتِشَارِهَا، وَقَدْ أُمِنَ ذَلِكَ بِدَفْنِهِ، وَقَدْ رُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا أَدْخَلَ نُعَيْمَ بْنَ مَسْعُودٍ الْأَشْجَعِيَّ الْقَبْرَ نَزَعَ الْأَخِلَّةَ بِفِيهِ.» “Adapun melepas tali pocong di kepala dan kaki, hukumnya mustahab (dianjurkan). Karena tujuan mengikat kain kafan adalah agar tidak tercecer, dan hal ini sudah tidak dikhawatirkan lagi ketika mayit sudah dimasukan ke liang kubur. Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau meletakkan Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i ke dalam liang kuburnya, Nabi melepas al-akhillah (ikatan) pada mulutnya.” (Al-Mughni, 2: 375) Namun, hadis ini dha’if sebagaimana dijelaskan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 1763). Para ulama juga berdalil dengan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu إذا أدخلتم الميت اللحد فحلو العقد “Jika kalian memasukkan mayit ke lahat, maka lepaskanlah ikatannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Atsram, dinukil dari Kasyful Qana‘, 2: 127) Ibnu Qudamah juga menyebutkan ada riwayat serupa dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, العقد التي يربط بها الكفن تحل كلها هذا الأفضل، السنة تحل كلها في القبر، إن وضع في قبره حلت العقد كلها أولها وآخرها هذا السنة “Ikatan yang mengikat kafan itu dibuka semuanya (ketika di liang kubur). Ini lebih utama. Yang sunnah, semuanya dilepaskan di dalam kubur. Ketika ia diletakkan di dalam kuburnya, maka semua ikatannya dilepaskan dari awal sampai akhir, ini sunnah.” (Fatawa Al-Jami’ Al-Kabir, 1: 43) Kesimpulannya, melepas tali pocong atau tali yang mengikat kain kafan hukumnya sunnah, tidak wajib. Di sini juga perlu diberi catatan bahwa melepas tali pocong itu tidak wajib, dan tidak mengapa jika tidak dilepas. Tidak benar juga anggapan sebagian orang bahwa jika tali pocong tidak dilepas, maka mayit akan penasaran dan akan gentayangan. Ini adalah khurafat yang batil, yang bertentangan dengan akidah Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya, kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Maka. orang yang sudah mati, sudah terputus amalnya. Tidak bisa gentayangan atau penasaran. Lagipula kalau dipikir secara logis, andaikan mayit bisa gentayangan, tentu akan melakukan hal-hal yang jauh lebih penting daripada sekedar protes soal tali pocong. Juga tidak benar bahwa jika tali pocong tidak dilepas, maka arwah mayit tidak tenang di alam kubur. Ini juga khurafat yang batil. Dalil-dalil yang sahih menunjukkan tenang-tidaknya mayit di alam kubur tergantung pada amalannya, bukan karena soal tali pocong, yang juga hukumnya tidak wajib untuk dilepas. Menyipratkan air ke tanah kuburan Disunahkan menyipratkan air ke tanah kuburan setelah pemakaman, berdasarkan hadis, رَشَّ على قَبْرِ ابنِهِ إبراهيمَ الماء “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyipratkan air ke kuburan Ibrahim (putra beliau) dengan air.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath. Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah mengatakan hadis ini shahih atau minimalnya hasan). Syekh Al-Albani pernah dalam kitab Irwaul Ghalil mengatakan bahwa tidak ada hadis yang shahih mengenai menyipratkan air ke tanah kuburan, namun dalam Ash-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah beliau meralat pendapatnya, “Kemudian mengenai Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyipratkan air ke kuburan putra beliau, terdapat hadis-hadis lainnya yang pernah saya takhrij dalam Al-Irwa (3: 205-206), semuanya hadisnya cacat dan ketika itu saya tidak menemukan penguatnya. Ketika saya temukan hadis ini dalam Al-Ausath Ath-Thabrani, segera saya takhrij untuk menunjukkan bahwa ada penguatnya. Allahlah yang memberikan taufik.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7: 100) Namun, menyipratkan air ini disunahkan adalah untuk melengketkan dan memadatkan tanah, bukan untuk mendinginkan sang mayit sebagaimana anggapan sebagian orang. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, أما رش الماء على القبر فالغرض منه تلبيد التراب وليس كما يظن العامة أن الغرض أن نبرد على الميت فإن الميت لا يبرده الماء وإنما يبرده ثوابه “Adapun menyipratkan air ke tanah kuburan tujuannya adalah untuk memadatkan tanah, bukan sebagaimana dikira oleh orang awam bahwa tujuannya adalah untuk membuat mayit sejuk. Karena mayit tidak bisa didinginkan dengan air, yang bisa membuatnya merasa sejuk adalah amalnya.” (Ta’liqat ‘alal Kaafi Libni Qudamah, 2: 389) Dari hadis ini juga kita ketahui bahwa yang dicipratkan adalah air biasa, tidak perlu air bunga atau air menyan, atau lainnya. Terlebih jika disertai keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya dalam syariat, bisa terjatuh dalam perbuatan membuat perkara baru dalam agama.

Cara menutup lubang Dalam masalah ini terdapat hadis dari Abu Hayyaj Al-Asadiy, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata kepada Abu Hayyaj, « ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ؟ أمرني أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) ولا تمثالاً إلا طمستُه » “Maukah engkau aku utus untuk mengerjakan sesuatu yang dulu aku pun pernah diutus oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengerjakannya? Rasulullah pernah mengutusku untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah. Lalu, tidak membiarkan ada gambar (makhluk bernyawa), melainkan harus dihilangkan’.” (HR. Muslim no. 969) Dalam menjelaskan hadis ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan, أَنَّ السُّنَّة أَنَّ الْقَبْر لَا يُرْفَع عَلَى الْأَرْض رَفْعًا كَثِيرًا ، وَلَا يُسَنَّم ، بَلْ يُرْفَع نَحْو شِبْر وَيُسَطَّح ، وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَمَنْ وَافَقَهُ “Yang sesuai sunah, makam itu tidak terlalu tinggi dan tidak buat melengkung. Namun, tingginya hanya sekitar sejengkal dari permukaan tanah dan dibuat merata. Ini mazhab Asy-Syafi’i dan murid-muridnya.” (Syarhu Shahih Muslim, 389/3). Larangan mengapur, menulis, dan membangun kuburan Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun.” Dalam riwayat lain, “Beliau melarang kuburan ditinggikan.” Dalam riwayat yang lain, “Beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970, Abu Daud no. 3225) Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah dijelaskan, “Para ulama berbeda pendapat juga tentang hukum menulis pada kuburan. Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah memakruhkan hal itu secara mutlak. Berdasarkan hadis Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dibangun, dan ditulis.” Ulama Hanafiyah dan As-Subki dari mazhab Syafi’i membolehkan menulis di atas kuburan jika ada kebutuhan mendesak, semisal agar tidak hilang kuburannya dan tidak dihinakan.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 32: 252) Adapun Asy-Syaukani rahimahullah menegaskan haramnya menulis pada kuburan berdasarkan zahir hadis (Nailul Authar, 4: 104). Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Demikian juga membangun kuburan dengan batu bata, semen, dan semisalnya sehingga ada bangunan di atasnya, maka ini diharamkan oleh seluruh ulama berdasarkan hadis di atas. Dan juga sebagaimana hadis Abul Hayyaj di atas: أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) “ … untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah …” (HR. Muslim no. 969) Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Dalam hadis ini adalah dalil yang nyata bahwa wajib untuk untuk meratakan setiap kuburan sehingga tidak lebih tinggi dari kadar yang dibolehkan dalam syariat. Siapa yang meninggikan kuburan lebih dari kadarnya atau membangun kubah atau masjid di atasnya, maka ini perkara yang terlarang tanpa keraguan dan tanpa syubhat.” (Syarhus Shudur bi Tahrimi Raf’il Qubur, hal. 13) Terutama jika yang dibangun adalah berupa masjid atau tempat ibadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, بناءُ المسجدِ عليه منهيٌّ عنه باتِّفاقِ الأمَّةِ “Membangun masjid di atas kuburan hukumnya terlarang berdasarkan sepakat ulama.” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 2: 267) Adapun mengapur kuburan, maksudnya adalah mewarnai kuburan dengan kapur. Termasuk juga mewarnai kuburan dengan cara lain. Az-Zabidi menjelaskan, تجصيصُ القَبرِ: طِلاؤُه بالجِصِّ “Maksud “mengapur kuburan” adalah mewarnai kuburan dengan kapur.” (Tajul ‘Arus, 10: 500). Mengapur atau mewarnai kuburan juga perbuatan yang diharamkan sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir. Ini ditegaskan oleh Al-Qurthubi, Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Asy-Syinqithi rahimahumullah dan para ulama lainnya. Hikmah pelarangan mewarnai kuburan adalah untuk menutup segala jalan kepada kesyirikan. Karena jika kuburan dibangun dan dihiasi, ia akan diagungkan. Dan terkadang akan membawa kepada penyembahan kepada kuburan selain beribadah kepada Allah. (Lihat Asy Syarhul Mumthi, 5: 366) Berdoa setelah pemakaman Berdoa sejenak dan memintakan ampunan untuk mayit setelah pemakaman adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كان النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم، إذا فَرَغَ مِن دَفْنِ المَيِّت وَقَفَ عليه، فقال: استغْفِروا لأخيكم، وسَلُوا له بالتَّثبيتِ؛ فإنَّه الآن يُسْأَلُ “Biasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri sejenak di sisi kuburan lalu bersabda, ‘Mintalah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mintalah agar ia diberi kemudahan dalam menghadapi pertanyaan kubur, karena ia sekarang sedang ditanya.’” (HR. Abu Daud no. 3221, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Namun, mendoakan mayit di sisi kubur hendaknya tidak dilakukan secara berjemaah atau dikomando oleh satu orang. Karena hadis-hadis yang ada, tidak menyebutkan tata cara demikian. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hal ini. Beliau mengatakan, “Berdoa secara berjemaah ini tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula bagian dari ajaran Al-Khulafa Ar-Rasyidun radhiyallahu ‘anhum. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memberikan petunjuk kepada mereka untuk memintakan ampunan bagi jenazah dan memohon keteguhan untuknya. Masing-masing orang membaca sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara berjemaah.” (Fatawa Al-Janaiz, hlm. 228)

Hadist-hadist bid'ah

Assalamualaikum

Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka dalam memahami hadits tentang bid’ah dan dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri. Berikut kumpulan hadits tentang bid’ah yang bisa kita pelajari agar terhindar dari bahaya bid’ah. [lwptoc] Hadits 1 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) Hadits 2 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718) Hadits 3 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An Nasa’i, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i) Hadits 4 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”) Hadits 5 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ “Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54) Hadits 6 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ “Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049). Dalam riwayat lain dikatakan, إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى “(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050). Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)

Hadits 7 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ “Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864) Hadits 8 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا “Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”) Hadits 9 Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata: يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ ) “Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847) Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan. Hadits 10 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ “Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749) Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan. Hadits 11 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063) Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“. Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah. Wallahu’alam.

Kamis, 06 Juli 2023

YANG DISEBUT ULAMA SALAF

Assalamualaikum

*YANG DISEBUT ULAMA SALAF*

1) Imam Hanafi lahir: 80 Hijriah

2) Imam Maliki lahir: 93 Hijriah

3) Imam Syafi’i lahir: 150 Hijriah

4) Imam Hanbali lahir:164 Hijriah

5) Imam Asy’ari lahir: 240 Hijriah

Mereka ini semua ulama Salafus Sholeh atau dikenali dengan nama ulama SALAF. Apa itu salaf?

Salaf ialah nama “zaman” yaitu merujuk kepada golongan ulama yang hidup antara kurun zaman kerosulan Nabi Muhammad hingga 300 HIJRAH.

Tiga kurun pertama itu bisa diartikan 3 Abad pertama (0-300 H)

1). Golongan generasi pertama dari 300 tahun hijrah itu disebut “Sahabat Nabi” karena mereka pernah bertemu Nabi

2). Golongan generasi kedua pula disebut “Tabi’in” yaitu golongan yg pernah bertemu Sahabat Nabi meski tidak pernah bertemu Nabi

3). Golongan generasi ketiga disebut sebagai “Tabi’ tabi’in” yaitu golongan yg tak pernah bertemu nabi dan sahabat tapi bertemu dengan tabi’in. Jadi Imam Abu Hanifah (pencetus mazhab Hanafi) merupakan murid Sahabat Nabi maka beliau seorang TABI’IN.

Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal), Imam Asy’ari pula berguru dengan tabi’in maka mereka adalah golongan TABI’IT TABI’IN. Jadi, kesemua Imam-Imam yang mulia ini merupakan golongan “SALAF yang SEBENARNYA”. Dan pengikut mazhhab mereka lah yg paling layak digelar sebagai “Salafi” atau “Salafiyah” karena “salafi” maksudnya “pengikut golongan SALAF”.

Jadi beruntunglah kita di Indonesia yg sebagian besar masih berpegang kepada mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab SALAF yang SEBENARNYA dan tidak lari dari paham NABI dan SAHABAT.

Sementara Ulama Rujukan Wahabi yang Mengaku Sebagai Salafi adalah sebagai berikut :

1) Ibnu Taimiyyah lahir: 661 Hijrah (lahir 361 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

2) Nashiruddin Al-Albani lahir: 1333 Hijrah (mati tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, lahir 1033 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

3) Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahabi): 1115 Hijrah (lahir 815 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

4) Bin baz lahir: 1330 Hijrah (wafat tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, sama dengan Albani, lahir 1030 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

5) Al-Utsaimin lahir: 1928 Masehi (wafat tahun 2001), beliau lahir entah berapa ribu tahun setelah zaman SALAF

Mereka ini semua hidup di AKHIR ZAMAN kecuali Ibnu Taimiyyah yg hidup di pertengahan zaman antara zaman salaf dan zaman dajjal (akhir zaman).

Saat Islam diserang oleh tentara Mongol, Tak ada seorang pun Imam rujukan mereka yg mereka ikuti hidup di zaman SALAF. Mereka ini (ulama rujukan wahabi) semua SANGAT JAUH DARI ZAMAN SALAF tapi SANGAT ANEH apabila pengikut sekte Wahabi membanggakan diri sebagai “Salafi” (pengikut Golongan Salaf) dan menyebut sebagai SALAFI WAHABI.

Sedangkan rujukan salafi wahabi adalah dari kalangan yg datang dari golongan ulama’ akhir zaman. Mereka menuding ajaran Sifat 20 Imam Asy’ari yg lahir tahun 240 H sebagai bid’ah yg sesat. Padahal, ajaran Tauhid Uluhiyyah, dan Asma wa Shifat yg mereka ajarkan juga bid’ah dan diajarkan pada masa Khalaf, oleh orang yang lahir tahun 1115 H.

Wassalamualaikum

Kamis, 07 Juli 2022

Selasa, 05 Juli 2022

CARA MENGHITUNG HARI SELAMATAN ORANG YANG MENINGGAL

السلام عليكم

CARA MENGHITUNG HARI SELAMATAN ORANG YANG MENINGGAL

1. Geblag

Geblag adalah acara selamatan yang dilakukan setelah prosesi pemakaman. Geblag juga kerap disebut dengan istilah Ngesur/Nyaur Tanah. Cara menentukannya dengan rumus jisarji dan harus dilaksanakan saat itu juga.

2. Nelung Dina

Nelung dina adalah selamatan setelah tiga hari kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus lusarlu, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga. Tujuannya untuk menyempurnakan nafsu dalam jasad manusia yang berasal dari bumi, api, air, dan angin.

3. Mitung Dina

Mitung dina adalah selamatan setelah tujuh hari kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua. Tujuannya untuk menyempurnakan kulit dan rambutnya.

4. Matangpuluh Dina

Matangpuluh dina adalah selamatan setelah 40 hari kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus masarma, yaitu hari kelima dan pasaran kelima. Tujuannya untuk menyempurnakan anggota tubuh yang merupakan titipan dari kedua orang tua seperti darah, daging, sumsum, tulang, dan otot.

5. Nyatus Dina

Nyatus dina adalah selamatan setelah 100 hari kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus perhitungan rosarma, yaitu hari kedua dan pasaran kelima. Tujuannya untuk menyempurnakan badan atau jasadnya.

6. Medhak Sepisan

Medhak sepisan adalah selamatan setelah satu tahun kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus patsarpat, yaitu hari keempat dan pasaran keempat. Tujuannya adalah peringatan telah sempurnanya kulit daging dan semua isi perut.

7. Medhak Pindho

Mendhak pindho adalah selamatan setelah dua hari kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus rosarpat, yaitu hari kesatu dan pasaran ketiga. Tujuannya adalah peringatan telah sempurnanya semua anggota badan selain tulang.

8. Nyewu

Nyewu adalah selamatan setelah seribu hari kematian. Cara menghitung hari dan pasarannya menggunakan rumus nemsarma, yaitu hari keenam dan pasaran kelima.

Tujuannya adalah selamatan kesempurnaan jasad manusia, termasuk bau dan rasanya. Sehingga, jasad tersebut dinyatakan telah menyatu dengan tanah yang merupakan asal muasal manusia hidup.

Cara menghitung selamatan orang meninggal

Menghitung 3harinya

Contoh: misal matinya Sabtu Pahing di hitung 1-2 jadi Minggu Pon malem Senin itu tahlilnya

2. Menghitung 7 harinya

Contoh : misal matinya hari Sabtu Pahing, di hitung 6 hari berarti Kamis Pahing malam Jum,at pas 7 harinya.

3. Menghitung 40 harinya

Contoh: di hitung 1 bulan penuh di tambah 3 hari, misal matinya hari Sabtu Pahing dihitung sampai Sabtu Pahing lagi trus di tambah 3 hari yaitu Minggu, Senin, Selasa Kliwon malam Rabu itu pas 40 harinya.

4. Menghitung 100 harinya

Contoh: di hitung dari bulan matinya sampai 3 bulan di tambah 10 hari lebih tepatnya 4 bulan di hitung mulai hari 1 di bulan ke 4 sampai 10 hari dan di cocokkan dengan hari dan pasaran.

Misal matinya hari Sabtu Pahing dihitung Sabtu - Minggu pasaran Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi.

5. Menghitung 1 tahunnya

Contoh: misal matinya di bulan Sura dihitung sampai 1 tahun tepat bulan Sura lagi. Lalu di cocokkan dengan hari matinya, misal hari matinya Sabtu Pahing dihitung 4 hari 4 pasaran, ketemu hari Senin Wage malam Selasa Kliwon pas 1 tahun matinya.

6. Menghitung 1000 harinya

Contoh: dihitung 35 bulan dimulai dari bulan matinya, misal matinya di bulan Sura sampai 35 bulan, lalu di cocokkan hari matinya, misal matinya hari Sabtu Pahing dihitung 6 hari 5 pasaran, ketemu hari Rabu Legi malam Kamis pas 1000 harinya.

Tapi kalau matinya di tanggal 1, 2, 3 di bulan Jawa yang memiliki 30 hari hitungannya beda lagi yaitu dihitung 34 bulan, misal matinya bulan Sura tanggal 1, 2, 3, dihitung 34 bulan, lalu di cocokkan dengan hari matinya seperti yang di atas ketemunya

والسلام عليكم

Senin, 04 Juli 2022

Lengkap Hitungan Jawa Orang Meninggal : 40 Hari, 100 Hari, 1 Tahun, 2 Tahun, dan 1000 Hari

السلام عليكم

Lengkap Hitungan Jawa Orang Meninggal : 40 Hari, 100 Hari, 1 Tahun, 2 Tahun, dan 1000 Hari

Dalam budaya dan adat Jawa, terdapat sebuah kebiasaan bagi sebuah keluarga untuk memperingati hari kematian salah seorang dalam keluarganya yang telah meninggal.

Peringatan tersebut biasanya diselenggarakan dalam hitungan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari. Peringatan ini dilakukan dengan menggelar kenduri atau selamatan untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal secara bersama-sama.

Nah, terkadang karena untuk menghitung jatuhnya hari peringatan tersebut seseorang akan mengalami kesulitan -lebih-lebih bila dilakukan secara manual- maka, pada kesempatan kali ini kami akan menjelaskan cara hitungan Jawa yang mudah dalam menentukan jatuhnya hari peringatan bagi orang yang sudah meninggal. Bagi Anda yang membutuhkan silakan simak pembahasan berikut ini secara runut agar Anda bisa melakukan perhitungan sendiri nantinya.

Hitungan Jawa Orang Meninggal

Sebelum membahas bagaimana hitungan Jawa untuk menentukan jatuhnya hari peringatan meninggalnya seseorang, terlebih dahulu harus diketahui bahwa perubahan hari pada sistem kalender Jawa berbeda dengan perubahan hari pada sistem kalender Masehi.

Jika pada kalender masehi, hari berganti saat tengah malam (pukul 00.00 malam), maka pada kalender Jawa, pergantian hari terjadi pada saat memasuki waktu Maghrib (sekitar pukul 18.00). Dengan aturan perubahan hari tersebut, maka jika seseorang meninggal pada waktu Ashar (misalnya pukul 16.45) hari Minggu Pahing, maka secara aturan Jawa ia meninggal pada hari Minggu Pahing. Sedangkan jika seseorang meninggal pada waktu Isya (misalnya pukul 19.45) hari Minggu Pahing, maka secara aturan Jawa sejatinya ia meninggal pada hari Senin Pon. Nah, setelah mengetahui aturan tersebut, sekarang mari kita mulai mempraktekan bagaimana cara melakukan hitungan Jawa untuk orang meninggal.

1. Hitungan Jawa dengan Tabel

Cara pertama ini adalah cara yang sederhana, yakni dengan menggunakan tabel. Bisa dibilang ini adalah cara yang harus dipadukan dengan hitungan manual. Setelah Anda melakukan hitungan kasar tentang perkiraan bulan peringatan, maka langkah berikutnya Anda harus mencari hari dan pasaran yang sesuai dengan pedoman tabel berikut ini.

Sebagai contoh: Ada seseorang yang meninggal pada tanggal 16 Mei 2018 Pukul 15.00, dimana hari tersebut wetonnya adalah Rabu Legi. Maka, untuk mengetahui kapan seharusnya peringatan 40 hari dilakukan kita perlu mencocokan hari dan pasaran wafatnya orang tersebut dengan tabel di atas.

Dari penggunaan tabel di atas, kita ketahui bahwa peringatan 40 hari seharusnya jatuh pada weton Senin Legi. Namun, untuk mengetahui tanggal pastinya diperlukan perhitungan manual, yaitu dengan memperkirakan bulan peringatan. Dalam contoh kasus, karena bulan meninggalnya adalah bulan Mei, maka 40 harinya pasti dilaksanakan pada bulan berikutnya agar genap 40 hari, yaitu bulan Juni.

Adapun di bulan Juni, kita bisa mencari tanggal yang memiliki weton sesuai dengan penggunaan tabel, dalam hal ini adalah weton Senin Legi. Dan weton tersebut dimiliki oleh tanggal 25 Juni 2018. Bisa dipahami? Jika belum silakan ulangi hitungannya dan berlatihlah dengan hitungan 100 hari, pendak pisan, pendak pindo, atau peringatan 1000 hari

والسلام عليكم

Jumat, 24 Juni 2022

Perhitungan Pernikahan Adat Jawa

السلام عليكم

contoh

kelahiran laki-laki kamis legi =(8+5)=13

kelahiran perempuan senin legi=(4+5)=9

kemudian jumlahkan hasil hitung laki-laki dan hasil hitung perempuan = (13+9)=22 disebut tibo padu

hasil keduanya dan artinnya

1=Pegat

2=Ratu

3=Jodoh

4=Topo

5=Tinari

6=Padu

7=Sujanan

8=Pesthi

9=pegat

10=Ratu

11=Jodoh

12=Topo

13=Tinari

14=Padu

15=Sujanan

16=Pesthi

17=Pegat

18=Ratu

19=Jodoh

20=Topo

21=Tinari

22=Padu

23=Sujanan

24=Pesthi

25=Pegat

26=Ratu

27=Jodoh

28=Topo

29=Tinari

30=Padu

31=Sujanan

32=Pesthi

33=Pegat

34=Ratu

35=Jodoh

36=Topo

Artinya

1 Pegat

yen tibo pegat bakal nemu masalah mbuh kui songko segi ekonomi,kekuasaan,selingkuh seng akhire iso pegatan

2 Ratu

yen tibo ratu iku jodoh baget ,di ajeni karo tonggo teparo lan wong liyo ,akehwong iri karo keharmonisane

3 jodoh

yen tibo jodoh cocok siji karo sijine iso podo nrimo keluwihane lan kekuragane ,omah -omah lancar teko tuwo

4 Topo

yen tibo topo iki awal-awale susah nanging tembe mburi penak.Awal-awale kerep kenek masalah mboh kui songko segi ekonomi utowo liyone ,nanging yen wis duwe anak lan wes suwe anggone umah-umah bakal mulyo uripe

5 Tinari

yen tibo tinari iki bakal nemu seneng penak anggone golek rejeki lan ora sampek urep kekurangan penake tembung nemu bejo anggone umah-omah

6 padu

yen tibo padu iki bakal sering tukaran nanging sejono saben ndino tukaran tapi ora sampek pegatan.mulo anggone omah-omah saben ndino tukaran embuh kui masalah opo wae

7 Sujanan

yen tibo sujanan iki kerep tukaran lan akeh-akehe masalah selingkuh embuh kui sing lanang po sing wadon opo malah loro-lorone podo la nduwe selingkuhan

8 Pesthi

yen tibo pesthi iki omah-omah bakal rukun tentrem adem ayem sampek tuo senajan eneng masalah opo ae ora bakal ngrusak keharmonisane.

والله اعلم

والسلام عليكم

SABAR

ASSALAMU'ALAIKUM. Hadist tentang Sabar yang Perlu di teladani Sabar merupakan perilaku terpuji yang sangat disukai Allah Swt. Umat mu...