Senin, 15 April 2019

Larangan Bagi Kaum Hawa ketika Haid

Salah satu ciri seorang Muslimah memasuki usia baligh adalah dengan mengalami siklus bulanan yang disebut haid atau menstruasi. Haid sendiri merupakan proses biologis yang dialami setiap wanita akibat perubahan fisiologis dalam tubuh, yaitu keluarnya darah dari rahim akibat dari terlepasnya lapisan endometrium rahim.

Dalam Islam, seorang wanita yang sedang mengalami haid dianggap tidak suci. Hal ini disebutkan dalam QS al- Baqarah ayat 222, "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad SAW) tentang haid. Katakanlah, 'Haid itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita (istri) di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orangorang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."

Selama haid berlangsung, ada beberapa hal yang dilarang dilakukan oleh seorang Muslimah. Larangan pertama adalah menjalankan shalat. Melaksanakan ibadah ini saat sedang haid hukumnya sangat dilarang. Wa nita yang haid disebut dalam keadaan tidak suci atau kotor. Shalat yang dilarang ini tidak hanya shalat wajib, tapi juga shalat sunah.

Dalam HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW pernah berkata kepada istrinya Aisyah, "Apabila haid datang, tinggalkanlah shalat." Semen tara itu, dari HR Abu Daud dan An- Nasai yang disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim disebutkan, dari Aisyah ra berkata, "Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, 'Darah haid itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhulah dan lakukan shalat.'"






Perihal shalat ini dibahas lebih lanjut dalam HR Bukhari. Dalam salah satu hadisnya menyebutkan jika suatu hari datanglah seorang wanita dan bertanya kepada Aisyah ra, "Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?" Kemudian, istri Nabi pun bertanya, "Apakah engkau wanita Hururiyah? Kami dulunya haid di masa Nabi SAW. Beliau tidak memerintahkan kami mengganti shalat." Larangan kedua, yaitu berpuasa.

Para ulama sepakat jika Muslimah yang sedang haid atau masa setelah melahirkan masih mengeluarkan darah nifas, maka ia tidak diperbolehkan berpuasa. Jika haid ini terjadi saat bulan Ramadhan, Muslimah tersebut wajib mengganti puasanya.

Dari HR Muslim dan Abu Daud, Aisyah berkata, "Kami mengalami hal itu (haid), maka kami diperintahkan mengqhada puasa, tapi tidak diperintahkan mengqadha shalat." Semen tara itu, dari HR Muttafaq 'alaihi disebutkan, "Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Bukankah bila wanita mendapat haid dia tidak boleh shalat dan puasa?'"

Larangan untuk berpuasa ini bukan hanya untuk puasa Ramadhan, puasa-puasa sunah pun dilarang ketika sedang haid dan nifas. Semua puasa sunah diharamkan untuk bagi yang sedang mengalami haid. Meski pun diharamkan untuk puasa saat Ramadhan, Muslimah yang sedang haid tetap bisa menggantinya dengan doa puasa Ramadhan yang diucapkan dalam hati. Hal ini membuat ibadah tetap bisa dilaksanakan.

Larangan berikutnya adalah tawaf, yaitu mengelilingi Ka'bah yang berada di Masjidil Haram sebanyak tujuh putaran. Dalam HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Aisyah yang saat itu sedang melaksanakan ibadah haji ketika haid. Nabi berkata, "Kerjakanlah segala yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji, tetapi jangan melakukan tawaf."






Larangan keempat, yaitu menyentuh, membawa, serta membaca Alquran. Dalam QS al-Waqiah ayat 79 Allah SWT berfirman, "Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan." Dalam HR Tirmidzi Rasulullah bersabda, "Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikit pun dari Alquran."

Ada perbedaan pendapat para ula ma tentang ini. Menurut Syekh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, seorang Muslimah yang sedang haid tidak diperbolehkan membaca Alquan Baik melalui mushaf atau dari hafalannya karena dia memiliki hadas besar. Tapi, beberapa pendapat ulama meringankan atau membolehkan dalam beberapa kondisi.

Ada pula pendapat yang membolehkan wanita haid membaca Alquran dengan catatan tidak menyentuh mushaf secara langsung atau menggunakan perantara serta takut lupa akan hafalannya bila masa haidnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak seperti bacaan zikir.

Berikutnya yang dilarang dilakukan Muslimah yang sedang haid adalah berdiam diri di masjid. Dari HR Bukhori, Abu Daud, dan Ibnu Khuzaemah disebur, dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haid."

Namun, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Ini karena ada kisah seorang wanita yang tinggal di dalam masjid pada zaman Rasulullah SAW, tapi tidak ada dalil menyatakan Rasul memerintahkan wanita itu untuk meninggalkan masjid ketika haid.

Bagi ulama yang beranggapan Muslimah yang sedang haid boleh berada di masjid, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya adalah ia memiliki hajat yang harus ditunaikan dan tidak boleh mengotori masjid. Mengotori dalam hal ini berarti ia yakin dan menjamin jika darah haidnya tidak akan keluar dan mengotori masjid.

Untuk berjaga-jaga, sebagian ulama berpendapat tidak boleh sampai masuk ke dalam area untuk shalat. Mereka hanya diperbolehkan berada dipelataran dan tidak masuk karena sangat berpotensi mengotori kesucian tempat shalat tersebut. Larangan lainnya adalah berhubungan badan antara suami istri.
والسلام عليكم

Rabu, 10 April 2019

PENTINGNYA GURU DALAM ILMU AGAMA

السلام عليكم
<p>*PENTINGNYA GURU DALAM ILMU AGAMA, DAN TIDAK CUKUP BELAJAR SECARA OTODIDAK*<p>
Ilmu agama tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku atau kitab. Akan tetapi harus talaqqi, belajar secara langsung kepada para ulama yang dipercaya. Hal ini seperti yang menjadi tradisi di dunia pesantren. Al-Hafizh Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi berkata:<p>
لا يؤخذ العلم إلا من أفواه العلماء
<p>Ilmu tidak dapat diperoleh kecuali dari lidah para ulama.
Sebagian ulama salaf berkata:<p>
الذي يأخذ الحديث من الكتب يسمى صحفيا، والذي يأخذ القرآن من المصحف يسمى مصحفيا ولا يسمى قارئا
<p>Orang yang memperoleh hadits dari buku (tanpa berguru) disebut shahafi (pembuka buku). Orang yang mengambil al-Quran dari mushaf, disebut mushafi (pembuka mushaf), dan tidak disebut qari' (pembaca al-Quran).
Mengapa dalam ilmu agama harus belajar melalui seorang guru, dan tidak cukup secara otodidak? Hal ini didasarkan pada hadits-hadits berikut ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:<p>
يا أيها الناس تعلموا فإنما العلم بالتعلم والفقه بالتفقه
<p>Wahai manusia, belajarlah ilmu. Karena sesungguhnya ilmu hanya diperoleh dengan belajar dan pengetahuan agama hanya diperoleh dengan belajar melalui guru. (Hadits hasan).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:<p>
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
<p>Barangsiapa berpendapat mengenai al-Quran dengan pendapatnya sendiri, lalu pendapat itu benar, maka ia telah benar-benar keliru.<p>
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:<p>
من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
<p>Barangsiapa yang berpendapat mengenai al-Quran dengan pendapatnya, maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka. (Hadits shahih).
Hadits-hadits di atas memberikan pengertian keharusan berguru dalam ilmu agama. Bukan dipelajari secara otodidak dari buku dan Google.
Berdasarkan paparan di atas, orang yang belajar ilmu agama secara otodidak atau belajar kepada kaum orientalis tidak bisa dikatakan sebagai orang yang alim, akan tetapi disebut sebagai bahits, peneliti dan pengkaji. Orang semacam ini tidak boleh menjadi rujukan dalam agama.
<p>
والسلام عليكم

SABAR

ASSALAMU'ALAIKUM. Hadist tentang Sabar yang Perlu di teladani Sabar merupakan perilaku terpuji yang sangat disukai Allah Swt. Umat mu...