Jumat, 01 Desember 2023

SABAR

ASSALAMU'ALAIKUM.

Hadist tentang Sabar yang Perlu di teladani

Sabar merupakan perilaku terpuji yang sangat disukai Allah Swt. Umat muslim dianjurkan untuk senantiasa menjadi orang yang SABAR

Selain itu, menjadi orang yang SABAR Merupakan satu di antara bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Sebagaimana yang dijelaskan dalam satu di antara surah Al-Qur’an bahwa Allah Swt. bersama orang-orang yang bersabar.

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا

Artinya: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi: 28)

Allah akan mengganjar pahala bagi orang-orang yang bersabar ketika menghadapi kehidupan termasuk saat mengalami musibah. Namun, menjadi orang yang sabar bukanlah hal mudah untuk dilakukan.

Hadis tentang SABAR yang perlu diteladani

قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى

"Sabar itu ketika pertama kali mendapatkan musibah." (HR. Al-Bazzar dan Abu Ya'la)

ما من مسلم يصيبه أذى من مرض فما سواه إلا پو , گماط الشكر رها (رواه بخاری ومسلم

"Seorang muslim yang tertimpa suatu gangguan berupa penyakit atau yang lainnya pasti Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya." (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

"Barang siapa yang berusaha menjaga diri maka Allah menjaganya, barang siapa yang berusaha merasa cukup maka Allah mencukupinya. Barang siapa yang berusaha bersabar maka Allah akan menjadikannya bisa bersabar dan tidak ada seorang pun yang dianugerahi sesuatu yang melebihi kesabaran." (HR. Bukhari No. 1469)

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {لَوْ كَانَ الصَّبْرُ رَجُلاً لَكَانَ رَجُلاً كَرِيْمً

"Jika kesabaran itu adalah seorang laki-laki maka sungguh ia adalah laki-laki yang mulia." (HR. Imam Abu Nu’aim dari sayyidah ‘Aisyah r.a.)

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {الصَّبْرُ عِنْدَ الْمُصِيْبَةِ بِتِسْعِمِائَةِ دَرَجَةٍ

"Sabar ketika musibah (diganjar) dengan sembilan ratus derajat." (HR. An Nawawi)

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَا تَجَّرَعَ عَبْدٌ جُرْعَةً أَفْضَلُ عِنْدَ اللهِ مِنْ جُرْعَةِ غَيْظٍ كَظَمَهَا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى

"Tidak ada seorang hamba yang meneguk satu tegukan (menerima musibah) yang lebih utama di sisi Allah daripada satu tegukan yang berat yang ditahan untuk mencari rida Allah Ta'ala." (HR. Imam Ahmad dan Imam At-Thabarani dari sahabat Ibnu ‘Umar r.a.)

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

"Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian, dan bahwa Allah, apabila menyayangi atau mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya, dan bagi siapa saja rida, maka baginya keridaan dari Allah, dan barang siapa yang membenci maka baginya kebenciaan dari Allah Swt." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةُ

"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Allah Ta’ala berfirman: Tidak ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali surga'." (HR. Bukhari No. 6424)

عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له . وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له

"Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar maka itu adalah kebaikan baginya." (HR. Muslim nomor 2999)

wassalamualaikum wr.wb

Jumat, 20 Oktober 2023

ANGIN DUDUK

assalamualaikum

"A N G I N D U D U K" Pada suatu ketika dimana "Nabi Allah Sulaiman A.S" duduk di Singgasana, maka datang 'satu Angin' yang cukup besar, maka bertanya "Nabi Allah Sulaiman" : "Siapakah engkau. . . ?? Maka dijawab oleh Angin tersebut : "Akulah 'Angin Rihul Ahmar' dan Aku bila memasuki Rongga Anak Adam, maka Lumpuh, keluar Darah dari Rongga Hidung dan apabila aku memasuki Otak Anak Adam, maka menjadi Gilalah Anak Adam. . ." Maka diperintahkan oleh "Nabi Sulaiman A.S", supaya membakar Angin tersebut, maka berkatalah, 'Rihul Ahmar' kepada "Nabi Sulaiman A.S" bahwa : "Aku Kekal sampai hari Kiamat tiba, tiada Sesiapa yang dapat membinasakan Aku melainkan Allah SWT. Lalu 'Rihul Ahmar' pun menghilang. Diriwayatkan bahwa : Cucu "Nabi Muhammad SAW", terkena *'Rihul Ahmar'*sehingga keluar Darah dari Rongga Hidungnya. Maka datang Malaikat Jibril kepada "Nabi SAW" dan bertanyalah "Nabi" kepada Jibril. Maka menghilang sebentar, lalu Malaikat Jibril kembali mengajari akan 'Do'a Rihul Ahmar' kepada "Nabi SAW", kemudian dibaca 'Do'a' tersebut kepada Cucunya dan dengan sekejap Cucu Rasulullah sembuh dengan serta merta. Lalu "Nabi SAW" bersabda : "Bahwa barangsiapa membaca 'Do'a Stroke / Do'a Rihul Ahmar', walaupun sekali dalam seumur hidupnya, maka akan dijauhkan dari Penyakit 'ANGIN AHMAR atau STROKE'." Do'a agar dijauhkan/terhindar dari 'Angin Ahmar dan Penyakit Kronis', sbb. :

اللهم إني أعوذبك من الريح الأحمر والدم الأسود والداء الأكبر

"Allohumma innii a'uudzubika minar riihil ahmar, wad damil aswad, wad daail Akbar." Artinya :

"Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari Angin Merah dan dari Darah Hitam (stroke) dan dari Penyakit Berat." 'Riihul Ahmar' biasa masuk pada saat seseorang Tidur Bakda Ashar hingga waktu Isya'. Maka hindarilah tidur diwaktu itu Sekantuk / Secapek apapun. . . silahkan dirasakan sendiri perbedaan tidur tengah hari (siang), Bakda Ashar & malam hari pada saat bangun dari tidur waktu² tsb. Teruskanlah ke Group Keluarga, Sahabat kita yang kita sayang, agar kita semua terhindar dari 'STROKE'. Insya' Allah. . . Semoga kita senantiasa dalam Balutan Sehat Wal A'fiat. أمين يارب العالمين.

wassalamualaikum

Rabu, 20 September 2023

HUKUM MEMBACA SURAH AL FATIHAH

Assalamu'alaikum

Tentang membaca Surah Al Fatihah setelah sholat

Hukum Membaca Al Fatihah sebelum dan Setelah Berdoa dan Dalil-dalilnya

Membaca Surat Al Fatihah sebelum dan setelah berdoa merupakan kebiasaan kaum Muslim sejak lama, sehingga para ulama pun juga telah membahas persoalan itu. Demikianlah pandangan ulama dari berbagai madzhab mengenai hukum membaca Surat Al Fatihah yang disertakan di saat seorang itu berdoa:

Madzhab Hanafi

Al Allamah Ali Qari Al Hanafi berkata setelah menyebut sebuah atsar dari Atha` mengenai membaca Al-Qur`an untuk terkabulnya hajat, ”Inilah asal bagi apa yang populer bagi manusia dari pembacaan Al Fatihah dalam rangka pemenuhan hajat-hajat dan diperolehnya perkara-perkara penting.” (dalam Al Asrar Al Marfu`ah, hal. 252)

Madzhab Syafi`i

Sedangkan di kalangan ulama Madzhab Syafi’i beberapa ulama menyatakan bolehnya menutup doa dengan Surat Al Fatihah, di antara mereka adalah:

Imam Asy Syihab Ar Ramli dimintai fatwa mengenai hukum membaca Al Fatihah setelah doa setelah melaksanan shalat, apakah ia memiliki asal sunnah? Imam Ar Ramli pun menjawab, ”Membaca Al Fatihah di pembukaan dan di akhiran doa atau untuk menunaikan hajat atau di permulaan majelis-majelis kebaikan atau di selain itu dari perkara-perkara yang penting bagi manusia. Ia adalah perkara yang disyari`atkan.” (dalam Fatawa Al Allamah Asy Syihab Ar Ramli, 1/160).

Pendapat serupa disampaikan oleh Ibnu Allan Ash Shiddiqi Asy Syafi`i dalam kitabnya. (Dalil Al Falihin li Thuruq Riyadh Ash Shalihin, 6/200).

Madzhab Hanbali

Syeikh Yusuf bin Abdil Hadi Al Hanbali yang masyhur dengan sebutan Ibnu Al Mibrad menulis sebuah risalah “Istianah bi Al Fatihah `Ala Najah Al Umur.” Dalam risalah itu Ibnu Abdil Hadi menyampaikan, ”Maka hendaklah engkau- semoga Allah merahmatimu- memperbanyak membaca Al Fatihah terhadap persoalan-persoalan dan hajat-hajatmu serta obat-obatmu serta kepentingan-kepentinganmu juga untuk setiap hal yang engkau hadapi.” (Istianah bi Al Fatihah `Ala Najah Al Umur, hal. 375, diterbitkan dalam Jamharah Al Ajza` Al Haditsiyah).

Dalil-dalil yang Dijadikan Pijakan

Para ulama menyatakan bolehnya mengawali doa dengan membaca Al Fatihah menggunakan beberapa dalil, di antaranya adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ» ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ: «اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ»؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}. قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}. قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}. قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}. قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ (أخرجه مسلم: 395, 1/296)

Artinya: Dar Abu Hurairah  dari Nabi , beliau bersabda,”Barang siapa melaksanakan shalat dan di dalam shalat itu ia tidak membaca Umm Al Quran (Al-Fatihah) maka shalat itu kurang.” Tiga kali. Tidak sempurna (penjelasan periwayat Hadits). Maka dikatakan kepada Abu Hurairah: ”Sesungguhnya kami berada di belakang imam.” Maka Abu Hurairah pun berkata, ”Bacalah Al Fatihah sendiri, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ”Allah Ta’ala berfirman,’Aku telah membagi shalat antara Aku dengan hamba-Ku dua bagian. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia berkata: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}, maka Allah berfirman, ”Telah memujiku, hambaku.” Dan jika ia berkata: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}, Allah Ta’ala berfirman, ”Telah memuji-Ku hamba-Ku. Jika ia berkata: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}, Allah Ta’ala berfirman,”Telah mengagungkan-Ku hamba-ku.” Dan sekali Ia juga berfirman, ”Telah menyerahkan kepada-Ku hamba-Ku.” Dan jika ia berkata: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}, Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika ia berkata: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}, Allah Ta’ala berfirman: “Ini bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (Riwayat Muslim: 395, 1/296).

Syeikh Ibnu Abdil Hadi Al Hanbali berkata, ”Sebagian dari mereka (para ulama) berhujjah dengan hadits ini bahwa tidak seorang pun membaca Al Fatihah dengan diniatkan untuk tertunaikannya hajat dan ia memohon hajatnya kecuali ia akan tertunaikan.” (Al Isti`anah bi Al Fatihah `ala Najah Al Umur, hal. 372).

Sedangkan hadits lain yang dijadikan para ulama sebagai dalil dalam masalah ini adalah hadist berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأسَه، فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ، لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الأَرْضِ، لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلا اليَوْمَ، فَسَلَّمَ وَقَال: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أَوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌّ قَبْلَكَ، فَاتِحَةُ الكِتَابِ وَخَوَاتِيَمُ سُورَةِ البَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلا أُعْطِيتَهُ. (أخرجه مسلم: 806, 1/554)

Artinya: Dari Ibnu Abbas ia berkata,”Sewaktu Jibril duduk bersama Rasulullah  ia (Jibril) mendengar suara (seperti terbukanya pintu), maka ia pun menengadahkan kepalanya, lantas berkata,”Ini adalah pintu langit dibuka hari ini, ia tidak pernah dibuka sama sekali, kecuali hari ini.” Lantas turunlah dari pintu itu malaikat.” Jibril berkata, ”Malaikat ini tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lantas ia malaikat itu pun berkata, ”Aku memberi kabar gembira dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau, Fatihah Al Kitab dan penutup surat Al Baqarah. Engkau tidak akan membaca satu huruf pun dari keduanya, kecuali engkau diberinya.” (Riwayat Muslim).

Syarafuddin Ath Thibi menyatakan, ”Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam meminta dan menjadikan keduanya (Al Fatihah dan akhir Surat Al Baqarah) sebagai pembantu dengan membaca maka ia diberi apa yang ia cari.” (dalam Al Kasyif `an Haqaiq As Sunan, 5/1646).

Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ibnu `Allan As Siddiqi Asy Syafi`i dalam kitabnya. (Dalil Al Falihin li Thuruq Riyadh Ash Shalihin, 6/200).

Amalan Tabi`in

Diriwayatkan Abu Asy Syaikh dalam Ats Tsawab dari Atha` ia berkata,”Jika engkau menginginkan hajat maka bacalah Fatihah Al Kitab hingga engkau menyelesaikannya, maka hajatmu akan tertunaikan, dengan izin Allah.”

Al Allamah Mulla Ali Al Qari Al Hanafi berkata mengenai atsar tersebut,”Ini adalah usul terhadap apa yang dikenal oleh manusia dari bacaan Al Fatihah untuk menunaikan hajat-hajat dan untuk memperoleh hal-hal penting.” (dalam Al Asrar Al Marfua`ah, hal. 253).

Walhasil, membaca Al Fatihah di awal dan di akhir doa di akhir sholat maupun di luar sholat dengan tujuan agar hajat yang disampaikan dalam doa terkabulkan merupakan perkara yang disyari`atkan dan pendapat itu merupakan pendapat salaf, dalam hal ini Imam Atha` seorang tabi`in. Wallahu a`lam bish shawab.

wassalamualaikum

Selasa, 15 Agustus 2023

TATA CARA MENGUBURKAN MAYIT

Assalamualaikum

Mengubur mayit dengan peti Mengubur mayit dengan menggunakan peti mati hukumnya makruh, jika tidak ada kebutuhan. Asy-Syirbini rahimahullah mengatakan, ويُكْرَه دَفْنُه في تابوت بالإجماعِ؛ لأنَّه بدعةٌ “Dimakruhkan menguburkan mayit di dalam peti mati berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Karena perbuatan ini termasuk bid’ah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 363) Namun, dibolehkan untuk menggunakan peti mati jika ada kebutuhan, seperti tanah yang mudah longsor, adanya resiko banjir, adanya penyakit pada badan mayit, atau semisalnya. Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan, قال في الحِلْيَةِ عن الغاية: ويكونُ التابوتُ من رَأْسِ المالِ إذا كانَتِ الأرضُ رِخوةً أو نَدِيَّةً، مع كَوْنِ التَّابوتِ في غيرها مكروهًا في قولِ العُلَماءِ قاطبةً “Penulis kitab Al-Hilyah mengatakan, ‘Peti mati yang digunakan untuk menguburkan mayit hendaknya dibeli dari harta si mayit. Ini boleh dilakukan jika tanah pemakamannya lembut dan lembek. Walaupun pada asalnya, penggunaan peti mati jika tidak demikian keadaannya, hukumnya makruh berdasarkan kesepakatan ulama.’” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2: 234) Yang diucapkan ketika memasukan mayit ke lubang kubur Disunahkan untuk membaca zikir berikut ketika memasukkan mayit ke lubang kubur: بسمِ الله، وعلى مِلَّةِ رسولِ اللهِ /bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah/ atau: بسمِ الله، وعلى سنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم /bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam/ Ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كان النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم إذا أَدْخَلَ المَيِّتَ القَبرَ، قال: ((بسمِ الله، وعلى مِلَّةِ رسولِ اللهِ )) “Biasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam ketika memasukkan mayit ke dalam lubang kubur, beliau membaca, ‘Bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah.’ (Dengan nama Allah [kami menguburkan mayit ini] dan di atas agama Rasulullah).” (HR. At-Tirmidzi no. 1046, Ibnu Majah no. 1550, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam lafaz yang lain, أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّم كان إذا وضَعَ المَيِّتَ في القَبرِ قال: بسمِ الله، وعلى سنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم )) “Biasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam ketika meletakkan mayit ke dalam lubang kubur, beliau membaca, ‘Bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (Dengan nama Allah dan di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Abu Daud no. 3213, At-Tirmidzi no. 1046, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud) Cara memasukkan mayit ke dalam lubang kubur Langkah 1 Mayit di letakkan dalam posisi miring ke kanan dan dimasukkan ke liang lahat. Ini adalah kesepakatan 4 mazhab. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Yang benar, mayit dikuburkan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Karena Ka’bah adalah kiblat manusia baik ketika hidup atau ketika mati sebagaimana orang yang tidur dianjurkan untuk miring ke kanan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Maka, demikian juga mayit, ia dimiringkan ke kanan karena tidur dan mati itu memiliki kesamaan, keduanya disebut sebagai wafat. Allah Ta’ala berfirman, الله يَتَوَفَّى الأنفُسَ حِينَ مَوتِها وَالتي لَمْ تَمُتْ في مَنَامِهَا “Allah mewafatkan jiwa seseorang pada saat kematiannya dan yang belum mati ketika dia tidur.” (QS. Az-Zumar: 42) Allah Ta’ala juga berfirman, وَهُوَ الذِي يَتَوَفَّكُم بِالَّليلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَهَارِ ثُمَّ يَبَْعَثُكُمْ فيِه لُيقْضَىَ أَجَلٌ مُّسَمَّى “Dan Dialah yang mewafatkan (baca: menidurkan) kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan.” (QS. Al-An’am: 60) Maka, yang disyariatkan adalah menguburkan mayit dengan membaringkannya miring ke kanan menghadap kiblat.” (Al-Fatawa Al-Islamiyah, 2: 52).

Langkah 2 Mayit dihadapkan ke arah kiblat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di atas. Ini adalah kesepakatan seluruh ulama, namun mereka berbeda pendapat apakah wajib atau mustahab hukumnya. Menurut mazhab Hambali, Syafi’i, dan Hanafi, hukumnya wajib selama memungkinkan. Adapun ulama mazhab Maliki mengatakan hukumnya sunah. Al-‘Adawi Al-Maliki rahimahullah mengatakan, وضَجْعٌ فيه على أيمَنَ مُقْبِلًا، والظاهِرُ أنَّهما مستحبَّان “Mayit dibaringkan ke arah kanan dan menghadap ke kiblat. Pendapat yang kuat, keduanya hukumnya mustahab.” (Hasyiyah Al-Adawi, 1: 421) Dan mayit dihadapkan jihhatul qiblah (arah kiblat), tidak harus persis lurus dan akurat dengan Ka’bah. Bagi kaum Muslimin di Indonesia, jihhatul qiblah adalah arah barat. Maka, selama mayit dihadapkan ke arah barat, itu sudah mencukupi. Langkah 3 Mayit didekatkan ke dinding liang lubur dan disandarkan ke dinding pada bagian depan tubuh mayit. Ini pendapat jumhur ulama dari Hanabilah, Syafi’iyyah, dan Malikiyah. Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah menyebutkan, يُستحَبُّ أن يُسْنَدَ المَيِّتُ مِن أمامِه، أو يُدْنَى من الحائِطِ؛ نصَّ عليه المالِكيَّة، والشَّافعيَّة، والحَنابِلَة ؛ وذلك لئلَّا ينكَبَّ على وَجْهِه “Dianjurkan untuk menyandarkan mayit (ke dinding kubur) dari sisi depan tubuh di mayit. Atau boleh sekedar di dekatkan ke dinding. Ini yang ditegaskan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Tujuannya, agar mayit tidak tertelungkup di atas wajahnya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah, Langkah 4 Mayit diberi penyangga di bagian punggung dengan tanah, batu bata, atau yang lainnya. Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah menyebutkan, يُستحَبُّ أن يُسند الميِّت من ورائه بتُرابٍ، أو لَبِنٍ ، أو غير ذلك، وهو مذهَبُ الجمهورِ: المالِكيَّة، والشَّافعيَّة، والحَنابِلَة، وهو قَولُ بعض الحَنفيَّة ؛ وذلك حتى لا يَسْتَلقِيَ على قفاه “Dianjurkan untuk menyangga mayit di bagian punggungnya dengan tanah, batu bata, atau benda yang lainnya. Ini adalah mazhab jumhur ulama, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian ulama Hanafiyah. Tujuannya agar mayit tidak jatuh terlentang di atas tengkuknya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah,

Melepas tali pocong Terdapat hadis, diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, لَمَّا وَضَع رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم نُعَيمَ بنَ مَسعودٍ في القَبرِ نَزَع الأَخِلَّةَ بِفيه؛ يَعنِي العَقْدَ “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan Nu’aim bin Mas’ud ke dalam liang kuburnya, Nabi melepas al-akhillah pada mulutnya. Al-akhillah artinya ikatan.” (HR. Al-Baihaqi no. 6714, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 11668) Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, وَأَمَّا حَلُّ الْعُقَدِ مِنْ عِنْدِ رَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ، فَمُسْتَحَبٌّ؛ لِأَنَّ عَقْدَهَا كَانَ لِلْخَوْفِ مِنْ انْتِشَارِهَا، وَقَدْ أُمِنَ ذَلِكَ بِدَفْنِهِ، وَقَدْ رُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا أَدْخَلَ نُعَيْمَ بْنَ مَسْعُودٍ الْأَشْجَعِيَّ الْقَبْرَ نَزَعَ الْأَخِلَّةَ بِفِيهِ.» “Adapun melepas tali pocong di kepala dan kaki, hukumnya mustahab (dianjurkan). Karena tujuan mengikat kain kafan adalah agar tidak tercecer, dan hal ini sudah tidak dikhawatirkan lagi ketika mayit sudah dimasukan ke liang kubur. Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau meletakkan Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i ke dalam liang kuburnya, Nabi melepas al-akhillah (ikatan) pada mulutnya.” (Al-Mughni, 2: 375) Namun, hadis ini dha’if sebagaimana dijelaskan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 1763). Para ulama juga berdalil dengan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu إذا أدخلتم الميت اللحد فحلو العقد “Jika kalian memasukkan mayit ke lahat, maka lepaskanlah ikatannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Atsram, dinukil dari Kasyful Qana‘, 2: 127) Ibnu Qudamah juga menyebutkan ada riwayat serupa dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, العقد التي يربط بها الكفن تحل كلها هذا الأفضل، السنة تحل كلها في القبر، إن وضع في قبره حلت العقد كلها أولها وآخرها هذا السنة “Ikatan yang mengikat kafan itu dibuka semuanya (ketika di liang kubur). Ini lebih utama. Yang sunnah, semuanya dilepaskan di dalam kubur. Ketika ia diletakkan di dalam kuburnya, maka semua ikatannya dilepaskan dari awal sampai akhir, ini sunnah.” (Fatawa Al-Jami’ Al-Kabir, 1: 43) Kesimpulannya, melepas tali pocong atau tali yang mengikat kain kafan hukumnya sunnah, tidak wajib. Di sini juga perlu diberi catatan bahwa melepas tali pocong itu tidak wajib, dan tidak mengapa jika tidak dilepas. Tidak benar juga anggapan sebagian orang bahwa jika tali pocong tidak dilepas, maka mayit akan penasaran dan akan gentayangan. Ini adalah khurafat yang batil, yang bertentangan dengan akidah Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya, kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Maka. orang yang sudah mati, sudah terputus amalnya. Tidak bisa gentayangan atau penasaran. Lagipula kalau dipikir secara logis, andaikan mayit bisa gentayangan, tentu akan melakukan hal-hal yang jauh lebih penting daripada sekedar protes soal tali pocong. Juga tidak benar bahwa jika tali pocong tidak dilepas, maka arwah mayit tidak tenang di alam kubur. Ini juga khurafat yang batil. Dalil-dalil yang sahih menunjukkan tenang-tidaknya mayit di alam kubur tergantung pada amalannya, bukan karena soal tali pocong, yang juga hukumnya tidak wajib untuk dilepas. Menyipratkan air ke tanah kuburan Disunahkan menyipratkan air ke tanah kuburan setelah pemakaman, berdasarkan hadis, رَشَّ على قَبْرِ ابنِهِ إبراهيمَ الماء “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyipratkan air ke kuburan Ibrahim (putra beliau) dengan air.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath. Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah mengatakan hadis ini shahih atau minimalnya hasan). Syekh Al-Albani pernah dalam kitab Irwaul Ghalil mengatakan bahwa tidak ada hadis yang shahih mengenai menyipratkan air ke tanah kuburan, namun dalam Ash-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah beliau meralat pendapatnya, “Kemudian mengenai Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyipratkan air ke kuburan putra beliau, terdapat hadis-hadis lainnya yang pernah saya takhrij dalam Al-Irwa (3: 205-206), semuanya hadisnya cacat dan ketika itu saya tidak menemukan penguatnya. Ketika saya temukan hadis ini dalam Al-Ausath Ath-Thabrani, segera saya takhrij untuk menunjukkan bahwa ada penguatnya. Allahlah yang memberikan taufik.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7: 100) Namun, menyipratkan air ini disunahkan adalah untuk melengketkan dan memadatkan tanah, bukan untuk mendinginkan sang mayit sebagaimana anggapan sebagian orang. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, أما رش الماء على القبر فالغرض منه تلبيد التراب وليس كما يظن العامة أن الغرض أن نبرد على الميت فإن الميت لا يبرده الماء وإنما يبرده ثوابه “Adapun menyipratkan air ke tanah kuburan tujuannya adalah untuk memadatkan tanah, bukan sebagaimana dikira oleh orang awam bahwa tujuannya adalah untuk membuat mayit sejuk. Karena mayit tidak bisa didinginkan dengan air, yang bisa membuatnya merasa sejuk adalah amalnya.” (Ta’liqat ‘alal Kaafi Libni Qudamah, 2: 389) Dari hadis ini juga kita ketahui bahwa yang dicipratkan adalah air biasa, tidak perlu air bunga atau air menyan, atau lainnya. Terlebih jika disertai keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya dalam syariat, bisa terjatuh dalam perbuatan membuat perkara baru dalam agama.

Cara menutup lubang Dalam masalah ini terdapat hadis dari Abu Hayyaj Al-Asadiy, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata kepada Abu Hayyaj, « ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ؟ أمرني أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) ولا تمثالاً إلا طمستُه » “Maukah engkau aku utus untuk mengerjakan sesuatu yang dulu aku pun pernah diutus oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengerjakannya? Rasulullah pernah mengutusku untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah. Lalu, tidak membiarkan ada gambar (makhluk bernyawa), melainkan harus dihilangkan’.” (HR. Muslim no. 969) Dalam menjelaskan hadis ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan, أَنَّ السُّنَّة أَنَّ الْقَبْر لَا يُرْفَع عَلَى الْأَرْض رَفْعًا كَثِيرًا ، وَلَا يُسَنَّم ، بَلْ يُرْفَع نَحْو شِبْر وَيُسَطَّح ، وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَمَنْ وَافَقَهُ “Yang sesuai sunah, makam itu tidak terlalu tinggi dan tidak buat melengkung. Namun, tingginya hanya sekitar sejengkal dari permukaan tanah dan dibuat merata. Ini mazhab Asy-Syafi’i dan murid-muridnya.” (Syarhu Shahih Muslim, 389/3). Larangan mengapur, menulis, dan membangun kuburan Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun.” Dalam riwayat lain, “Beliau melarang kuburan ditinggikan.” Dalam riwayat yang lain, “Beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970, Abu Daud no. 3225) Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah dijelaskan, “Para ulama berbeda pendapat juga tentang hukum menulis pada kuburan. Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah memakruhkan hal itu secara mutlak. Berdasarkan hadis Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dibangun, dan ditulis.” Ulama Hanafiyah dan As-Subki dari mazhab Syafi’i membolehkan menulis di atas kuburan jika ada kebutuhan mendesak, semisal agar tidak hilang kuburannya dan tidak dihinakan.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 32: 252) Adapun Asy-Syaukani rahimahullah menegaskan haramnya menulis pada kuburan berdasarkan zahir hadis (Nailul Authar, 4: 104). Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Demikian juga membangun kuburan dengan batu bata, semen, dan semisalnya sehingga ada bangunan di atasnya, maka ini diharamkan oleh seluruh ulama berdasarkan hadis di atas. Dan juga sebagaimana hadis Abul Hayyaj di atas: أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) “ … untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah …” (HR. Muslim no. 969) Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Dalam hadis ini adalah dalil yang nyata bahwa wajib untuk untuk meratakan setiap kuburan sehingga tidak lebih tinggi dari kadar yang dibolehkan dalam syariat. Siapa yang meninggikan kuburan lebih dari kadarnya atau membangun kubah atau masjid di atasnya, maka ini perkara yang terlarang tanpa keraguan dan tanpa syubhat.” (Syarhus Shudur bi Tahrimi Raf’il Qubur, hal. 13) Terutama jika yang dibangun adalah berupa masjid atau tempat ibadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, بناءُ المسجدِ عليه منهيٌّ عنه باتِّفاقِ الأمَّةِ “Membangun masjid di atas kuburan hukumnya terlarang berdasarkan sepakat ulama.” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 2: 267) Adapun mengapur kuburan, maksudnya adalah mewarnai kuburan dengan kapur. Termasuk juga mewarnai kuburan dengan cara lain. Az-Zabidi menjelaskan, تجصيصُ القَبرِ: طِلاؤُه بالجِصِّ “Maksud “mengapur kuburan” adalah mewarnai kuburan dengan kapur.” (Tajul ‘Arus, 10: 500). Mengapur atau mewarnai kuburan juga perbuatan yang diharamkan sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir. Ini ditegaskan oleh Al-Qurthubi, Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Asy-Syinqithi rahimahumullah dan para ulama lainnya. Hikmah pelarangan mewarnai kuburan adalah untuk menutup segala jalan kepada kesyirikan. Karena jika kuburan dibangun dan dihiasi, ia akan diagungkan. Dan terkadang akan membawa kepada penyembahan kepada kuburan selain beribadah kepada Allah. (Lihat Asy Syarhul Mumthi, 5: 366) Berdoa setelah pemakaman Berdoa sejenak dan memintakan ampunan untuk mayit setelah pemakaman adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كان النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم، إذا فَرَغَ مِن دَفْنِ المَيِّت وَقَفَ عليه، فقال: استغْفِروا لأخيكم، وسَلُوا له بالتَّثبيتِ؛ فإنَّه الآن يُسْأَلُ “Biasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri sejenak di sisi kuburan lalu bersabda, ‘Mintalah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mintalah agar ia diberi kemudahan dalam menghadapi pertanyaan kubur, karena ia sekarang sedang ditanya.’” (HR. Abu Daud no. 3221, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Namun, mendoakan mayit di sisi kubur hendaknya tidak dilakukan secara berjemaah atau dikomando oleh satu orang. Karena hadis-hadis yang ada, tidak menyebutkan tata cara demikian. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hal ini. Beliau mengatakan, “Berdoa secara berjemaah ini tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula bagian dari ajaran Al-Khulafa Ar-Rasyidun radhiyallahu ‘anhum. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memberikan petunjuk kepada mereka untuk memintakan ampunan bagi jenazah dan memohon keteguhan untuknya. Masing-masing orang membaca sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara berjemaah.” (Fatawa Al-Janaiz, hlm. 228)

Hadist-hadist bid'ah

Assalamualaikum

Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka dalam memahami hadits tentang bid’ah dan dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri. Berikut kumpulan hadits tentang bid’ah yang bisa kita pelajari agar terhindar dari bahaya bid’ah. [lwptoc] Hadits 1 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) Hadits 2 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718) Hadits 3 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An Nasa’i, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i) Hadits 4 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”) Hadits 5 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ “Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54) Hadits 6 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ “Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049). Dalam riwayat lain dikatakan, إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى “(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050). Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)

Hadits 7 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ “Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864) Hadits 8 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا “Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”) Hadits 9 Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata: يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ ) “Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847) Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan. Hadits 10 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ “Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749) Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan. Hadits 11 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063) Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“. Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah. Wallahu’alam.

Kamis, 06 Juli 2023

YANG DISEBUT ULAMA SALAF

Assalamualaikum

*YANG DISEBUT ULAMA SALAF*

1) Imam Hanafi lahir: 80 Hijriah

2) Imam Maliki lahir: 93 Hijriah

3) Imam Syafi’i lahir: 150 Hijriah

4) Imam Hanbali lahir:164 Hijriah

5) Imam Asy’ari lahir: 240 Hijriah

Mereka ini semua ulama Salafus Sholeh atau dikenali dengan nama ulama SALAF. Apa itu salaf?

Salaf ialah nama “zaman” yaitu merujuk kepada golongan ulama yang hidup antara kurun zaman kerosulan Nabi Muhammad hingga 300 HIJRAH.

Tiga kurun pertama itu bisa diartikan 3 Abad pertama (0-300 H)

1). Golongan generasi pertama dari 300 tahun hijrah itu disebut “Sahabat Nabi” karena mereka pernah bertemu Nabi

2). Golongan generasi kedua pula disebut “Tabi’in” yaitu golongan yg pernah bertemu Sahabat Nabi meski tidak pernah bertemu Nabi

3). Golongan generasi ketiga disebut sebagai “Tabi’ tabi’in” yaitu golongan yg tak pernah bertemu nabi dan sahabat tapi bertemu dengan tabi’in. Jadi Imam Abu Hanifah (pencetus mazhab Hanafi) merupakan murid Sahabat Nabi maka beliau seorang TABI’IN.

Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal), Imam Asy’ari pula berguru dengan tabi’in maka mereka adalah golongan TABI’IT TABI’IN. Jadi, kesemua Imam-Imam yang mulia ini merupakan golongan “SALAF yang SEBENARNYA”. Dan pengikut mazhhab mereka lah yg paling layak digelar sebagai “Salafi” atau “Salafiyah” karena “salafi” maksudnya “pengikut golongan SALAF”.

Jadi beruntunglah kita di Indonesia yg sebagian besar masih berpegang kepada mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab SALAF yang SEBENARNYA dan tidak lari dari paham NABI dan SAHABAT.

Sementara Ulama Rujukan Wahabi yang Mengaku Sebagai Salafi adalah sebagai berikut :

1) Ibnu Taimiyyah lahir: 661 Hijrah (lahir 361 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

2) Nashiruddin Al-Albani lahir: 1333 Hijrah (mati tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, lahir 1033 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

3) Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahabi): 1115 Hijrah (lahir 815 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

4) Bin baz lahir: 1330 Hijrah (wafat tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, sama dengan Albani, lahir 1030 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)

5) Al-Utsaimin lahir: 1928 Masehi (wafat tahun 2001), beliau lahir entah berapa ribu tahun setelah zaman SALAF

Mereka ini semua hidup di AKHIR ZAMAN kecuali Ibnu Taimiyyah yg hidup di pertengahan zaman antara zaman salaf dan zaman dajjal (akhir zaman).

Saat Islam diserang oleh tentara Mongol, Tak ada seorang pun Imam rujukan mereka yg mereka ikuti hidup di zaman SALAF. Mereka ini (ulama rujukan wahabi) semua SANGAT JAUH DARI ZAMAN SALAF tapi SANGAT ANEH apabila pengikut sekte Wahabi membanggakan diri sebagai “Salafi” (pengikut Golongan Salaf) dan menyebut sebagai SALAFI WAHABI.

Sedangkan rujukan salafi wahabi adalah dari kalangan yg datang dari golongan ulama’ akhir zaman. Mereka menuding ajaran Sifat 20 Imam Asy’ari yg lahir tahun 240 H sebagai bid’ah yg sesat. Padahal, ajaran Tauhid Uluhiyyah, dan Asma wa Shifat yg mereka ajarkan juga bid’ah dan diajarkan pada masa Khalaf, oleh orang yang lahir tahun 1115 H.

Wassalamualaikum

SABAR

ASSALAMU'ALAIKUM. Hadist tentang Sabar yang Perlu di teladani Sabar merupakan perilaku terpuji yang sangat disukai Allah Swt. Umat mu...